Popular Posts

Friday, May 3, 2013

Merajut Pelindung Aurat

Dr. Fahmi Amhar
Komisi Perlindungan Anak Indonesia mengatakan bahwa hari-hari ini Indonesia sudah memasuki kondisi “Darurat Kejahatan Seksual”.  Bagaimana tidak, ada ayah yang menzinai anak perempuan kandungnya sendiri, konon dengan restu istrinya (ibu si gadis), karena si ibu merasa sudah tidak bisa melayani suaminya, dan “daripada sama orang lain, tidak jelas, mending sama anak sendiri saja”, begitu pikirnya.
Tentu saja persoalan kejahatan seksual sangat kompleks.  Ada unsur taraf “kecerdasan islami” yang rendah.  Ada godaan akibat tayangan televisi yang tidak sehat.  Ada peredaran pornografi dalam bentuk VCD porno ataupun via internet yang sangat bebas.  Ada dampak kemiskinan sehingga satu keluarga hanya hidup dalam satu kamar, sehingga aurat tidak lagi dapat terjaga.  Ada dampak dunia kerja lebih mengakomodasi perempuan, sehingga perempuan pekerja relatif lebih cepat capek, sementara suaminya yang pengangguran jadi kurang kerjaan.
Namun salah satu yang sangat penting adalah, karena persoalan aurat yang memang kurang terjaga.  Padahal Islam sangat memperhatikan persoalan perlindungan aurat.  Salah satu bentuknya adalah teknologi tekstil.
Industri tekstil termasuk industri pelopor pada masa Islam.  Ini wajar karena menutup aurat adalah kewajiban sekaligus kebutuhan dasar masyarakat.  Pengaruh industri tekstil di masa Islam tampak dari kata-kata Arab untuk tekstil yang ada pada bahasa-bahasa Eropa, misalnya kata damask, muslin dan mohair  dalam bahasa Inggris.
Serat tertua yang digunakan dalam tekstil Muslim adalah wol.  Lapisan bulu bagian dalam domba Angora yang disebut mohair (dari bahasa Arab mukhayyar) digunakan untuk syal yang halus dan bagian yang lembut pada jas, sedang bulu onta digunakan untuk bahan-bahan lain.
Domba dicukur dengan sebuah gunting besar dan sebelum dipintal, wol mentah ini terlebih dulu disortir berdasarkan kualitas, kemudian dibersihkan, dihilangkan lemaknya dan disisir.
Dari zaman Firaun, Mesir terkenal dengan linennya, tetapi di zaman Islam pembuatan linen menyebar ke Iran dan negeri Islam lain.  Rami dari Mesir diekspor ke berbagai negara, termasuk Eropa, mendominasi pasar sampai tahun 1300 M.  Rami diproses untuk diambil seratnya.
Kapas dikenal di India dan Mesir kuno, tetapi baru setelah kedatangan Islam kapas menjadi bahan baku tekstil yang penting.  Salah satu hasil revolusi pertanian Muslim adalah penyebaran tanaman kapas ke seluruh wilayah Islam, ke Timur maupun Barat.  Umat Islam jugalah yang memperkenalkan industri tekstil kapas ke Spanyol di abad-2 M (abad-8 H).  Di sini tanaman kapas tumbuh subur sebelum menyebar ke Prancis abad-12 M, ke Belgia abad-13 M, ke Jerman abad-14 M dan ke Inggris seabad kemudian.  Dia juga menjadi faktor utama revolusi industri tiga abad belakangan.
Mesin pintal zaman pertengahan. (www.123rf.com )
Di pabrik, buah kapas diproses sebelum dipintal.  Serat dipisahkan dari bijinya, kemudian dibersihkan dari pengotor.  Petunjuk untuk memperkirakan kualitas kapas yang telah dipisahkan dan bebas dari biji serta kulit diberikan dalam sebuah manual (alhisba) yang disiapkan sebagai panduan bagi para muhtasib.
Selain wol, serat rami dan kapas, sutera juga menjadi bahan baku tekstil.  Bahan baku sutera diperoleh dari kokon ulat sutera yang dijemur di terik matahari atau direndam air mendidih hingga larva di dalamnya mati.  Kemudian filamen dari kokon itu digulung atau dipintal seperti wol atau kapas.
Industri sutera dibawa dari Cina sebelum zaman Islam.  Namun di masa Islamlah pabrikasi sutera menjadi hal penting sehingga akhirnya “sutera Islam” menggantikan sutera Byzantium di pasaran Eropa dan mendominasi hingga abad-13 M.  Sutera tetap menjadi komoditas ekspor terpenting masyarakat Islam ke Barat hingga abad-19 M.  Sutera-sutera ini bertuliskan Arab setidaknya untuk menunjukkan tempat dan tahun pembuatan.  Tak heran, hingga kini masih ada kain penutup dari sutera di berbagai gereja di Barat yang bertemakan penggalan kalimat syahadat Islam.
Merajut kain sutra dengan alat tradisional
(www.kavitasahariamyroom.com )
Mesin pintal untuk membuat benang dari berbagai bahan tadi mengalami evolusi sejak zaman Cina kuno hingga bentuknya yang sempurna di zaman Revolusi Industri.  Ibnu Miskawayh (wafat 1030 M) dalam Kitab Tajari al-Umam (Pengalaman Bangsa-bangsa) memberikan deskripsi tentang mesin pemintal sutera di masanya yang sudah terdiri dari banyak gelondong.  Dalam kitab Maqamat  karya al-Hariri (1237 M) terdapat ilustrasi tentang seorang gadis yang bekerja pada roda pemintal.
Setelah pemintalan dilakukan serangkaian persiapan sebelum penenunan (untuk membuat kain dari benang).  Prinsip dasarnya adalah menganyam seberkas benang.  Meski perkakas tenun sudah ada sejak zaman pra Islam, para insinyur Muslim menambahkan beberapa komponen yang signifikan, misal pedal untuk menaik-turunkan benang.  Jika salah satu pedal ditekan, kumparan dilontarkan dari satu tangan ke tangan lain melalui sela di antara benang-benang, lalu ditimpa dengan sisir benang, kemudian pedal yang lain ditekan untuk membuka bukaan yang berlawanan, kumparan kembali melintas dan benang kembali ke tempat semula.  Demikianlah seterusnya, dan semua ini terjadi dengan sangat cepat.
Proses tenun ini bahkan bisa didesain dengan berbagai jenis dan warna benang sehingga membentuk pola atau motif tertentu.  Deskripsi menarik tentang perkakas tenun gambar ini dilaporkan oleh al-Nuwairi (wafat 1376 M).
Ibn al-Mubarrid (abad-16 M) menulis dalam Kitab al-Hisba tentang 100 tipe penenun!  Dia memberikan daftar tentang sepuluh jenis penenun katun, lebih dari dua puluh penenun linen, lebih dari empat puluh untuk sutera, lebih dari sepuluh untuk permadani dan karpet, dan lebih dari lima untuk kanvas dan karung goni.
Banyak profesi terkait dengan industri tekstil.  Mulai dari saudagar penjual pakaian baru, pedagang pakaian bekas dan kain lap, pedagang sutera dan benang, pengelantang, pengempa, pencelup, pemintal dan berbagai pengrajin lain.  Seorang muhtasib bertugas mengawasi mutu dan pelaksanaan peraturan-peraturan pemerintah, sehingga seluruh profesi ini berhasil menyediakan penutup aurat yang bermutu tinggi dan sesuai selera konsumen.
Pada zaman sekarang, ketika tekstil yang tahan lama telah dapat diproduksi dengan murah, dunia fesyen lalu didorong agar produk industri tekstil tetap dapat diserap pasar.  Fesyen menjadi industri kreatif nomor satu.  Pertanyaannya, apakah tujuan semula untuk melindungi aurat telah tercapai?  Mungkin diperlukan kembali institusi hisbah untuk mengawasinya.[]

Wewenang Khalifah

Khalifah sebagai kepala negara memiliki tanggung jawab yang besar dengan sejumlah kewenangan. Apa saja wewenang Khalifah?
Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam Pasal 36, yang berbunyi:
Khalifah memiliki wewenang sebagai berikut: (a) Menetapkan hukum-hukum syariah yang diperlukan untuk memelihara urusan-urusan umat, yang digali dengan ijtihad yang sahih dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya sehingga menjadi perundang-undangan yang wajib ditaati dan tidak boleh dilanggar. (b) Bertanggung jawab terhadap politik negara, baik dalam maupun luar negeri; juga memegang kepemimpinan militer, dan yang berhak mengumumkan perang, mengadakan perjanjian damai, gencatan senjata serta seluruh perjanjian lainnya. (c) Berhak menerima atau menolak duta-duta negara asing; juga berhak menentukan dan memberhentikan duta kaum Muslim. (d) Mengangkat dan memberhentikan para Mu’awin dan Wali; mereka semua bertanggung jawab kepada Khalifah sebagaimana mereka juga bertanggung jawab kepada Majelis Umat. (e) Mengangkat dan memberhentikan Qadhi Qudhat dan seluruh qadhi, kecuali Qadhi Mazhalim yang sedang menangani kasus terkait Khalifah, Mu’awin atau Qadli Qudhat. Juga yang berhak mengangkat dan memberhentikan para kepala direktorat, komandan militer, dan para pemimpin brigade militer. Mereka bertanggung jawab kepada Khalifah dan tidak bertanggung jawab kepada Majelis Umat. (f) Mengadopsi hukum-hukum syariah yang berhubungan dengan anggaran pendapatan dan belanja negara. Juga yang menentukan rincian nilai APBN, pemasukan maupun pengeluarannya.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 151).
Berdasarkan Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam Pasal 36 ini, Khalifah sebagai kepala negara memiliki sejumlah wewenang sebagai berikut:
1.     Menetapkan Hukum Syariah.
Khalifah memiliki wewenang untuk menetapkan hukum-hukum syariah tertentu yang diperlukan. Ada dua alasan mengapa hal ini harus dilakukan oleh Khalifah: (i) tidak terhindari adanya perbedaan pendapat di tengah masyarakat terkait satu persoalan; (ii) adanya hubungan antara penetapan hukum dan pemeliharaan Khalifah sebagai kepala negara terhadap kepentingan kaum Muslim (Al-Khalidi, Qawâid Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 344).
Agar kedua hal tersebut tidak menimbulkan problem bahkan konflik di tengah-tengah umat, maka Khalifah harus menetapkan hukum-hukum syariah tertentu yang mengikat semua warga, yang kemudian disebut dengan undang-undang. Sebab, undang-undang didefinisikan sebagai: “Seperangkat aturan yang ditetapkan oleh pemerintah, serta memiliki kekuatan yang mengikat dan memaksa rakyat untuk mematuhinya dalam menjalankan hubungan antarmereka (An-Nabhani, Nizhâm al-Islâm, hlm. 85).
Dalil atas hal ini adalah Ijmak Sahabat. Pasalnya, ketika Umar ra. berkuasa, beliau menetapkan hukum yang berbeda dengan pendapat Abu Bakar. Saat itu Khalifah Umar ra. membagikan harta (rampasan) perang berdasarkan siapa yang lebih dulu memeluk Islam atau yang lebih membutuhkannya, yakni dengan pembagian yang berbeda. Padahal sebelumnya, Khalifah Abu Bakar ra. membaginya dengan sama rata. Kaum Muslim pun seluruhnya mengikuti pendapat Umar ini, termasuk para Qadhi dan Wali. Karena itu, Ijmak Sahabat menguatkan bahwa Khalifah berhak menetapkan hukum-hukum tertentu—tentu melalui proses ijtihad yang sahih—serta memerintahkan rakyatnya untuk melaksanakan-nya. Jadi, menetapkan hukum-hukum syariah adalah wewenang Khalifah semata (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 152).
2.     Mengendalikan Kebijakan Dalam dan Luar Negeri
Khalifah memiliki wewenang untuk mengendalikan kebijakan dalam dan luar negeri. Artinya, Khalifahlah yang bertanggung jawab terhadap politik negara, baik dalam maupun luar negeri; juga yang memegang kepemimpinan militer sehingga Khalifah berhak mengumumkan perang, mengadakan perjanjian damai, gencatan senjata serta seluruh perjanjian lainnya.
Dalil terkait hal ini adalah af’âl (amal perbuatan) Rasulullah saw. Beliaulah yang mengangkat para wali dan qadhi serta mengoreksi mereka. Beliau yang mengawasi aktivitas jual-beli dan mencegah penipuan. Beliau yang mendistribusikan harta kepada rakyat. Beliau pula yang membantu mereka yang tidak memiliki pekerjaan dan menciptakan lapangan pekerjaan. Artinya, beliau yang melakukan semua urusan dalam negeri. Beliau pula yang melakukan urusan luar negeri; di antaranya menyeru para raja dan menerima para delegasi.
Beliau secara riil memimpin kepemimpinan militer. Bahkan ada sejumlah peperangan yang beliau pimpin sendiri. Beliau mengirim pasukan khusus (sariyah) dan mengangkat panglimanya. Bahkan ketika beliau mengangkat Usamah bin Zaid untuk memimpin pasukan khusus yang akan dikirim ke Syam, sahabat tidak senang dengan itu, karena Usamah masih sangat muda. Namun, Rasululah saw. memaksa mereka agar menerima kepemimpinan Usamah. Semua ini menunjukkan bahwa kepala negara (baca: Khalifah) adalah panglima tinggi militer yang sesungguhnya, bukan sekadar sebutan saja, seperti yang diberikan pada seorang presiden, termasuk di Indonesia. Beliau juga yang mengumumkan perang, seperti pengumuman perang terhadap kaum Quraisy, Bani Quraidhah, Bani Qainuqa’ dan lainnya.
Beliau juga yang mengadakan perjanjian dengan Yahudi. Beliau pula yang mengadakan Perjanjian Hudaibiyah. Meski kaum Muslim tidak suka dengan Perjanjian Hudaibiyah ini, Rasulullah saw. tidak merespon dan menolak pendapat merela. Beliau tetap mengadakan perjanjian tersebut. Semua ini menunjukkan bahwa mengadakan perjanjian adalah wewenang Khalifah saja (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 153).
3.     Mengangkat dan Menerima Para Duta.
Khalifah memiliki wewenang untuk menerima atau menolak duta-duta negara asing; juga menentukan dan memberhentikan duta kaum Muslim. Dalil dalam hal ini adalah, bahwa Rasulullah saw. pernah menerima dua delegasi kaum Quraisy, yaitu Musailamah al-Kadzdzab dan Abu Rafi’; keduanya merupakan duta kaum kafir Quraisy. Beliau yang mengirim para duta kaum Muslim kepada Heraqlius, Kisra, Muqaiqis, Harits al-Ghassani Raja Hirah, Harits al-Humairi Raja Yaman, dan kepada Najasi Raja Habasyah. Beliau pula yang mengirim Utsman bin Affan di Hudaibiyah sebagai duta kaum Muslim kepada kaum kafir Quraisy. Semua ini menunjukkan bahwa Khalifahlah yang menerima para duta dan menolaknya, serta yang mengangkat para duta kaum Muslim (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 154).
4.     Mengangkat dan Memberhentikan Para Mu’awin dan Wali.
Khalifah memiliki wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan para para mu’awin dan para wali. Dalilnya adalah, bahwa Rasulullah saw. sendiri yang mengangkat para wali. Beliau mengangkat Muadz menjadi wali di Yaman. Beliau juga yang memberhentikan para wali. Beliau yang memberhentikan al-Ala’ bin al-Hadhrami dari jabatan sebagai wali di Bahrain, karena ada pengaduan dari penduduk Bahrain. Semua ini menunjukkan bahwa para wali bertanggung jawab terhadap penduduk wilayahnya, bertanggung jawab terhadap Khalifah dan bertanggung jawab terhadap Majelis Umat karena Majelis Umat mewakili seluruh wilayah. Hal ini terkait wewenang Khalifah untuk mengangkat dan memberhentikan para wali.
Adapun dalil bahwa Khalifah memiliki wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan para mu’awin maka dalilnya adalah, bahwa Rasulullah saw. memiliki dua orang mu’awin, yaitu Abu Bakar dan Umar. Meski sepanjang hidupnya beliau tidak pernah memberhentikan keduanya dan tidak pula mengangkat orang lain selain keduanya. Pasalnya, mu’awin itu mendapatkan kekuasaan dari Khalifah sehingga kedudukannya sama dengan wakil Khalifah. Karena itu Khalifah berhak memberhentikannya; di-qiyas-kan dengan wakil, yakni orang yang mewakilkan berhak memberhentikan wakilnya, kecuali ada dalil yang melarang dari memberhentikannya dalam kondisi tertentu (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 154).
5.     Mengangkat dan Memberhentikan Para Qadhi, Kepala Direktorat dan Petinggi Militer.
Khalifah memiliki wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan Qadhi Qudhat dan seluruh qadhi, kecuali Qadhi Mazhalim yang sedang menangani kasus terkait Khalifah, Mu’awin atau Qadhi Qudhat. Juga mengangkat dan memberhentikan para kepala direktorat, komandan militer, dan para pemimpin brigade militer.
Dalilnya adalah, bahwa Rasulullah saw. pernah mengangkat Ali ra. sebagai qadhi di Yaman. Khalifah Umar ra. mengangkat Syuraikh sebagai qadhi di Kufah. Beliau pun pernah memberhentikan Syurahbil bin Hasanah dari jabatannya sebagai qadhi di Syam. Khalifah Ali ra. pernah mengangkat Abu Aswad dan kemudian memberhentikannya karena suaranya terlalu tinggi di hadapan dua orang yang tengah berperkara. Apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar dan Imam Ali dilihat dan didengar langsung oleh para Sahabat. Tidak seorang pun dari mereka yang mengingkari perbuatan keduanya. Ini menunjukkan bahwa Khalifahlah yang mengangkat para qadhi dan memberhentikannya dengan di-qiyas-kan pada akad perwakilan.
Adapun pengecualian pemecatan Qadhi Mazhalim yang tengah menangani kasus Khalifah, Mu’awin atau Qadhi Qudhat, maka itu didasarkan pada kaidah syariah, “Al-wasîlah ila al-harâmi harâm[un] (Sarana yang membawa pada keharaman adalah haram).”
Dalam kondisi seperti ini, Khalifah memiliki wewenang memecatnya, maka itu akan berpengaruh terhadap keputusan qadhi, yang bisa menyia-nyiakan hukum syariah. Ini haram jika terjadi. Karena itu dalam kondisi seperti ini pemecatan Qadhi Mazhalim menjadi wewenang Mahkamah Mazhalim, bukan lagi wewenang Khalifah. Adapun dalam kondisi selain itu, kembali pada hukum asalnya, yakni mengangkat dan memberhentikannya menjadi wewenang Khalifah (Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah [fi al-Hukm wa al-Idârah]), hlm. 123).
Rasulullah saw. juga mengangkat para juru tulis administrasi pemerintahan yang kedudukannya sama dengan kepala direktorat. Beliau juga mengangkat para komandan militer dan pemimpin brigade. Semua ini menunjukkan bahwa mengangkat mereka semua adalah wewenang Khalifah. Mereka semua bertanggung  jawab pada Khalifah saja (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 156).
6.       Menetapkan APBN.
Khalifah memiliki wewenang untuk menentukan hukum-hukum syariah yang berhubungan dengan anggaran pendapatan dan belanja negara; juga menentukan rincian nilai APBN, pemasukan maupun pengeluarannya.
Sebenarnya, APBN dalam Negara Islam, terkait sumber pendapatan dan belanjanya, telah ditetapkan oleh hukum syariah. Dengan demikian tidak boleh mendapatkan dan membelanjakan satu dinar pun, kecuali sesuai hukum syariah. Hanya saja, penetapan rinciannya diserahkan pada pendapat dan ijtihad Khalifah. Misalnya, Khalifah menetapkan besarnya pembagian hasil tanah kharaj adalah segini, dan besarnya nilai jizyah yang diambil segini. Ini dan yang semisalnya adalah menyangkut rincian pendapatan. Khalifah juga yang menetapkan pengeluaran untuk pembangunan jalan segini, dan untuk pembangunan rumah sakit segini. Ini dan yang semisalnya adalah menyangkut rincian pengeluaran. Dengan demikian keputusan untuk semua ini dikembalikan pada pendapat dan ijtihad Khalifah. Semua hal tersebut telah dicontohkan serta dilakukan oleh Rasulullah saw. dan para khalifah sesudahnya, bahkan tidak ada seorang pun yang mengingkarinya. Semua ini menunjukkan bahwa rincian APBN ditetapkan oleh Khalifah atau yang mewakilinya (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 157).
Dengan Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam, Pasal 36 ini, Khalifah memiliki wewenang yang sangat besar. Bisa jadi timbul kekhawatiran bahwa Khalifah akan menyalahgunakan wewenangnya. Namun, kekhawatiran seperti itu tidak perlu terjadi, sebab dalam menjalankan wewenangnya, Khalifah terikat dengan hukum syariah sehingga tidak bisa seenaknya membuat kebijakan. Selain itu, ada Majelis Umat yang senantiasa siap mengoreksinya. WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Muhammad Bajuri]
Daftar Bacaan:
Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah (fi al-Hukm wa al-Idârah), (Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 2005.
Al-Khalidi, Dr. Mahmud, Qawâid Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, (Beirut: Maktabah al-Muhtasib), Cetakan II, 1983.
An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
An-Nabhanai, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Nizhâm al-Islâm. Beirut: Darul Ummah, Cetakan VI, 2001.

Kebijakan Khilafah di Bidang Pariwisata

 
Oleh: Hafidz Abdurrahman
Banyak negara memanfaatkan bidang pariwisata sebagai salah satu sumber perekonomiannya. Dengan memanfaatkan potensi keindahan alam, baik yang alami maupun buatan, serta keragaman budaya yang ada, dunia pariwisata dikembangkan sebagai salah satu sumber pendapatan negara. Namun, di sisi lain pariwisata ini juga mempunyai dampak negatif kepada negara, khususnya masyarakat setempat. Dampak itu terlihat melalui invasi budaya di dalam negara, khususnya masyarakat yang hidup di sekitar obyek wisata.
Karena itu, pertanyaan kemudian adalah, jika Khilafah berdiri, apakah bidang pariwisata ini akan tetap dipertahankan, dan bahkan dikembangkan, atau justru sebaliknya? Lalu, bagaimana kebijakan Khilafah dalam bidang pariwisata ini?
Negara Dakwah
Sebagai negara dakwah, Khilafah menerapkan seluruh hukum Islam di dalam dan ke luar negeri. Dengan begitu, Khilafah telah menegakkan kemakrufan, dan mencegah kemunkaran di tengah-tengah masyarakat. Prinsip dakwah inilah yang mengharuskan Khilafah untuk tidak membiarkan terbukanya pintu kemaksiatan di dalam negara. Termasuk melalui sektor pariwisata ini.
Obyek yang dijadikan tempat wisata ini, bisa berupa potensi keindahan alam, yang nota bene bersifat natural dan anugerah dari Allah SWT, seperti keindahan pantai, alam pegunungan, air terjun dan sebagainya. Bisa juga berupa peninggalan bersejarah dari peradaban Islam. Obyek wisata seperti ini bisa dipertahankan, dan dijadikan sebagai sarana untuk menanamkan pemahaman Islam kepada wisatawan yang mengunjungi tempat-tempat tersebut.
Ketika melihat dan menikmati keindahan alam, misalnya, yang harus ditanamkan adalah kesadaran akan Kemahabesaran Allah, Dzat yang menciptakannya. Sedangkan ketika melihat peninggalan bersejarah dari peradaban Islam, yang harus ditanamkan adalah kehebatan Islam dan umatnya yang mampu menghasilkan produk madaniah yang luar biasa. Obyek-obyek ini bisa digunakan untuk mempertebal keyakinan wisatawan yang melihat dan mengunjunginya akan keagungan Islam.
Dengan begitu itu, maka bagi wisatawan Muslim, obyek-obyek wisata ini justru bisa digunakan untuk mengokohkan keyakinan mereka kepada Allah, Islam dan peradabannya. Sementara bagi wisatawan non-Muslim, baik Kafir Mu’ahad maupun Kafir Musta’man, obyek-obyek ini bisa digunakan sebagai sarana untuk menanamkan keyakinan mereka pada Kemahabesaran Allah. Di sisi lain, juga bisa digunakan sebagai sarana untuk menunjukkan kepada mereka akan keagungan dan kemuliaan Islam, umat Islam dan peradabannya.
Karena itu, obyek wisata ini bisa menjadi sarana dakwah dan di’ayah (propaganda). Menjadi sarana dakwah, karena manusia, baik Muslim maupun non-Muslim, biasanya akan tunduk dan takjub ketika menyaksikan keindahan alam. Pada titik itulah, potensi yang diberikan oleh Allah ini bisa digunakan untuk menumbuhkan keimanan pada Dzat yang menciptakannya, bagi yang sebelumnya belum beriman. Sedangkan bagi yang sudah beriman, ini bisa digunakan untuk mengokohkan keimanannya. Di sinilah, proses dakwah itu bisa dilakukan dengan memanfaatkan obyek wisata tersebut.
Menjadi sarana propaganda (di’ayah), karena dengan menyaksikan langsung peninggalan bersejarah dari peradaban Islam itu, siapapun yang sebelumnya tidak yakin akan keagungan dan kemuliaan Islam, umat dan peradabannya akhirnya bisa diyakinkan, dan menjadi yakin. Demikian juga bagi umat Islam yang sebelumnya telah mempunyai keyakinan, namun belum menyaksikan langsung bukti-bukti keagungan dan kemuliaan tersebut, maka dengan menyaksikannya langsung, mereka semakin yakin.
Bertentangan dengan Peradaban Islam
Sementara obyek wisata, yang merupakan peninggalan bersejarah dari peradaban lain, maka Khilafah bisa menempuh dua kebijakan:
Pertama, jika obyek-obyek tersebut merupakan tempat peribadatan kaum kafir, maka harus dilihat: Jika masih digunakan sebagai tempat peribadatan, maka obyek-obyek tersebut akan dibiarkan. Tetapi, tidak boleh dipugar atau direnovasi, jika mengalami kerusakan. Namun, jika sudah tidak digunakan sebagai tempat peribadatan, maka obyek-obyek tersebut akan ditutup, dan bahkan bisa dihancurkan.
Kedua, jika obyek-obyek tersebut bukan merupakan tempat peribadatan, maka tidak ada alasan untuk dipertahankan. Karena itu, obyek-obyek seperti ini akan ditutup, dihancurkan atau diubah. Ini seperti dunia fantasi yang di dalamnya terdapat berbagai patung makhluk hidup, seperti manusia atau binatang. Tempat seperti ini bisa ditutup, patung makhluk hidupnya harus dihancurkan, atau diubah agar tidak bertentangan dengan peradaban Islam.
Ketika Muhammad al-Fatih menaklukkan Konstantinopel, karena waktu itu hari Jumat, maka gereja Aya Shopia pun disulap menjadi masjid. Gambar-gambar dan ornamen khas Kristen pun dicat. Setelah itu, gereja yang telah disulap menjadi masjid itu pun digunakan untuk melakukan shalat Jumat oleh Muhammad al-Fatih dan pasukannya.
Bukan Sumber Devisa
Meski bidang pariwisata, dengan kriteria dan ketentuan sebagaimana yang telah disebutkan di atas tetap dipertahankan, tetapi tetap harus dicatat, bahwa bidang ini meski bisa menjadi salah satu sumber devisa, tetapi ini tidak akan dijadikan sebagai sumber perekonomian Negara Khilafah. Selain karena tujuan utama dipertahankannya bidang ini adalah sebagai sarana dakwah dan propaganda, Negara Khilafah juga mempunyai sumber perekonomian yang bersifat tetap.
Perbedaan tujuan utama dipertahankannya bidang ini oleh Negara Khilafah dan yang lain mengakibatkan terjadinya perbedaan dalam kebijakan masing-masing terhadap bidang ini. Dengan dijadikannya bidang ini sebagai sarana dakwah dan propaganda oleh Khilafah, maka Negara Khilafah tidak akan mengeksploitasi bidang ini untuk kepentingan ekonomi dan bisnis. Ini tentu berbeda, jika sebuah negara menjadikannya sebagai sumber perekonomiannya, maka apapun akan dilakukan demi kepentingan ekonomi dan bisnis. Meski untuk itu, harus mentolelir berbagai praktik kemaksiatan.
Di sisi lain, Negara Khilafah telah mempunyai empat sumber tetap bagi perekonomiannya, yaitu pertanian, perdagangan, industri dan jasa. Keempat sumber inilah yang menjadi tulang punggung bagi Negara Khilafah dalam membiayai perekonomianya. Selain keempat sumber tetap ini, Negara Khilafah juga mempunyai sumber lain, baik melalui pintu zakat, jizyah, kharaj, fai’, ghanimah hingga dharibah. Semuanya ini mempunyai kontribusi yang tidak kecil dalam membiayai perekonomian Negara Khilafah.
Dengan demikian, Negara Khilafah sebagai negara pengemban ideologi dan negara dakwah, akan tetap bisa menjaga kemurniaan ideologi dan peradabannya dari berbagai invasi budaya yang datang dari luar. Pada saat yang sama, justru Negara Khilafah bisa mengemban ideologi dan dakwah, baik kepada mereka yang memasuki wilayahnya maupun rakyat negara kafir di luar wilayahnya.
Begitulah kebijakan Negara Khilafah dalam bidang pariwisata. (mediaumat.com, 3/5)

Siapa Butuh Negara Demokrasi ?(Who Needs Democratic State)

Karut marut negeri sungguh menyesakkan dada kita. Sungguh sulit diterima nalar, bagaimana seorang bocah kecil yang berusia 8 tahun – kalau kemudian memang terbukti benar—tega membunuh teman sepermainannya sendiri, yang usianya baru 6 tahun.
Sampai sekarang polisi belum bisa memastikan apa motif sebenarnya dari tersangka pelaku, namun diduga karena korban memiliki utang seribu rupiah kepada pelaku. Bagaimana mungkin anak sekecil itu sudah menjadi pembunuh ?
Maraknya pencabulan, pemerkosaan, sampai pembunuhan sangat mengkhawatirkan kita.  Pelakunya pun tak jarang masih berusia sangat muda. Seperti yang terjadi di Gowa Sulawesi Selatan, lima orang siswa SD memperkosa temannya sendiri , akibat kecanduan nonton film porno.  Maraknya pula pencabulan yang dilakukan justru oleh ayah sendiri yang seharusnya menjadi pelindung, atau oleh guru sendiri yang seharusnya menjadi teladan.
Kita juga bersedih melihat lima orang siswa SMA 2 Tolitoli mempermainkan sholat yang seperti yang kita saksikan dalam laman Youtube. Apakah begitu buramnya kondisi pendidikan kita, sehingga mereka tega mempermainkan ibadah suci umat Islam?
Kita juga sulit untuk mencari apa prestasi dari negara ini yang bisa kita banggakan. Hampir semua perkara, negara tidak becus mengurusnya. Mengurus Ujian Negara (UN), yang sudah puluhan tahun dilakukan, tidak becus.  Banjir dan kemacetan , seolah menjadi masalah yang tidak bisa diselesaikan, terus terjadi dan berulang. Harga-harga pun sering kali sulit dikontrol seperti bawang dan daging.
Masalah korupsi pun membuat kita miris. Meskipun sudah banya pelaku koruptor  yang ditangkap, dihukum dan dipenjarakan, namun masih saja koruptor-koruptor baru bermunculan.  Saat media masih marak membicarakan korupsi proyek pembangunan pusat sarana olahraga nasional Hambalang, Bogor, KPK menangkap ketua DPRD Bogor, Iyus Juher sebagai tersangka kasus pembangunan makam yang juga ada di Bogor.
Sulitnya memberantas Korupsi ini sampai-sampai presiden SBY mengungkapkan rasa frustasi, kejengkelan , dan kegeramannya. Di depan peserta dialog Forum Pasar Global di Singapura (23/4), Presiden SBY menyatakan betapa sulitnya memberantas korupsi di Indonesia.
Tidak hanya itu, pemerintah pun kembali dengan teganya menyusahkan rakyatnya sendiri. Pemerintah bersikukuh untuk menaikkan harga BBM. Apapun ceritanya, pengalaman menunjukkan kenaikan BBM pasti akan menambah beban hidup masyarakat.
Menurut Pengamat ekonomi Komite Ekonomi Nasional (KEN) Nina Septi Triaswati, Dengan menaikkan harga BBM menjadi 6500 perliter jika diterapkan mulai awal Mei, pemerintah  maka hanya akan menghemat Rp16 triliun hingga akhir tahun. Sementara sebenarnya masih banyak cara lain untuk mendapatkan Rp 16 trilyun itu, tanpa menaikkan BBM yang sudah diduga kuat akan memberikan dampak yang menyulitkan masyarakat.
Untuk mendapatkan 16 trilyun, kenapa tidak dihemat dari Belanja birokrasi di APBN 2013 yang besarnya mencapai 400,3 triliun. Kenapa pula pemerintah selalu menjadikan rakyat sebagai tumbal kebijakannya ?  Padahal disisi lain kita akan punya pendapatan yang sangat besar – mencapai lebih dari 1000 trilyun –  kalau kekayaan alam berupa tambang-tambang yang dikuasai asing itu diambil alih, dikembalikan sebagai pemilikan rakyat, yang dikelola oleh negara dengan baik, dan hasilnya untuk kepentingan rakyat . Lagi-lagi kenapa selalu rakyat yang dijadikan tumbal ?
Satu tambang emas Freeport saja sebenarnya lebih dari cukup untuk menutupi 16 trilyun itu. Menurut  Marwan Batubara , potensi kerugian negara dari kontrak karya pertambangan dengan PT Freeport diperkirakan mencapai 10 ribu triliun rupiah. Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies itu  mengatakan, potensi kerugian itu berasal dari hasil penjualan kandungan emas, tembaga dan perak di area Tembagapura, Timika Papua.
Tercatat, dari tahun 2005 – September 2010, total penjualan PTFI sebesar US$ 28.816 juta atau Rp 259,34 triliun; laba kotornya US$ 16.607 juta atau Rp 150,033 triliun. Bandingkan dengan royalti yang dibayarkan kepada Indonesia hanya sebesar US$ 732 juta atau Rp 6,588 triliun. (Baca kotrak freeport di http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2010/11/04/data-dan-fakta-kontrak-freeport).
Kita kembali tegaskan inilah potret negara demokrasi yang kita anut. Semua karut marut yang kita hadapi sekarang pangkalnya adalah sistem demokrasi. Demokrasi , bukan hanya sistem kufur, namun juga telah melahirkan berbagai banyak persoalan. Demokrasi, telah melahirkan sistem politik transaksional, yang menumbuhsuburkan korupsi dan kolusi.
Liberalisme (kebebasan) yang menjadi nilai penting dari sistem demokrasi telah benar-benar merusak. Kebebasan bertingkah laku, memarakkan kemaksiatan dan kejahatan seksual. Kebebasan pemilikan telah melahirkan sistem ekonomi kapitalisme yang rakus. Ekonomi yang memiskin rakyat dan memberikan jalan pada negara-negara imperialis untuk merampok kekayaan alam kita.  Perlu kembali kita garis bawahi, semua ini merupakan penyakit bawaan dari sistem demokrasi. Bukan penyimpangan dari sistem demokrasi.
Karena itu yang kita yang harus lakukan bukan meluruskan atau memperbaiki sistem demokrasi. Karena sistem ini telah sakit sejak lahir dan mengandung dan memproduksi virus berbahaya dari tubuhnya sendiri. Yang harus kita lakukan adalah mencampakkan demokrasi ke tong sampah peradaban.
Tidak berhenti disana, kita menggantikannya dengan sistem yang dijamin kebenarannya karena berasal dari Allah SWT, yaitu sistem Islam.  Sistem Islam akan akan menerapkan syariah Islam secara menyeluruh dengan sistem khilafah sebagai institusi negaranya.
Karena itu siapa yang butuh dengan negara demokrasi yang karut marut ini ? Siapapun berpikir sehat , apalagi di dasarkan kepada aqidah Islam, akan menyimpulkan, kita tidak butuh sistem demokrasi yang kufur dan merusak ini ! Yang kita butuhkan adalah sistem Khilafah yang akan menerapkan syariah Islam. Dengan itu kita akan mendapatkan keridhoan Allah SWT, kebaikan di dunia maupun di akhirat. (Farid Wadjdi)

Pengakuan Pria Muslim yang Ikuti Training “969″ Budhis Myanmar

1 1
Seorang pria Muslim di negara bagian selatan Myanmar yang mengikuti acara training anggota kelompok ekstrim Buddhis “969″ pada awal April kemarin karena dianggap sebagai pemuda Buddha. Dia mengungkapkan dalam wawancara dengan koresponden M-Media Group bahwa bhiksu yang mengisi acara tersebut menyampaikan pesan-pesan anti-Muslim kepada para anggota “969.” Berikut terjemahan wawancaranya:
“Pekan lalu, Saya berbicara dengan seorang pria Muslim di negara bagian selatan Myanmar yang berakhir di sebuah acara yang terkait dengan gerakan 969 di awal bulan April.
Dia berdiri di sebuah toko sirih dengan beberapa orang Buddha lainnya. Seseorang mengatakan kepada mereka untuk bergabung dengannya ke Wihara di mana ceramah 969 digelar. Karena dia tidak terlihat seperti pria Muslim yang Khas, dia keliru dianggap seorang penganut Buddha. Dia tidak yakin akan dirinya sendiri mengapa dia bergabung dengan kelompok itu.
Ketika mereka sampai di sebuah Wihara, seorang bhiksu sedang ceramah ide-ide anti-Muslim.
Ketika mereka sampai ke lapangan terdekat, pria itu (bhiksu) mengatakan kepada mereka untuk duduk di tanah. Dia mengatakan kepada orang banyak bahwa orang-orang Burma harus melenyapkan orang-orang “Kalar” (Kalar adalah istilah yang digunakan untuk merendahkan yang dalam bahasa Burma mengacu pada Muslim, red) yang akan segera menyerang umat Buddha. Dia mengatakan bahwa jika umat Buddha tidak mengambil tindakan, orang-orang “Kalar” akan melakukannya, dan oleh karena itu penting untuk melindungi umat Buddha dan orang-orang Bamar (etnis mayoritas di Burma) dari para “teroris Kalar.”
Dia mengatakan kepada kelompok tersebut bahwa dia memberikan pelatihan kepada orang-orang tentang bagaimana untuk menyerang dan bertempur. Dia bersedia untuk memberikan 5.000 Kyat per hari untuk setiap hari latihan, dan untuk hari-hari serangan yang sebenarnya.
Salah seorang di kerumunan bertanya tentang penangkapan oleh polisi. Pria itu menjawab bahwa para anggota kelompok tersebut (969) akan diberikan kartu yang bisa ditunjukkan kepada polisi untuk menghindari penangkapan.
Pria itu juga menyebutkan bahwa keluarga orang-orang tersebut (kelompok 969, red) akan diurus jika sesuatu terjadi kepada para anggota kelompok itu (maksudnya jika seorang anggota tewas).
Pria Muslim itu menjadi gelisah. Dia menyembunyikan wajahnya dengan menundukkan kepalanya selama berlangsungnya acara tersebut. Dia hampir muntah dan pingsan. Setelah satu hari, dia memutuskan untuk secepatnya menghilang dari tempat kejadian. Dia tidak pergi di hari kedua, tetapi pergi ke kota lain karena takut mereka (orang-orang Buddha) akan mencari tahu.” (arrahmah/eramuslim/HK)

Debbi Rogers : Ketika Saya Bersyahadat, Serasa Lepas Beban Berat dari Pundak Saya


Perempuan berusia 34 tahun asal Inggris memilih menjadi mualaf dan berhasil mengislamkan keluarga dan 30 temannya. Aisyah Bhutta namanya yang dulu bernama Debbie Rogers.
1 1Kini hidup tenteram dan bahagia setelah memeluk Islam. Di apartemennya yang terletak di Cowcaddens, Glasgow, ia melewati hari-hari dengan amalan Islam. Saat ini kesibukannya adalah menjadi ustadzah yang rajin menyiarkan agama Islam ke berbagai tempat.  Berkat dakwahnya, Bhutta dapat mengislamkan orangtua, kerabat dan 30 temannya.
Dahulu Bhutta adalah seorang gadis Kristen taat. Ia memutuskan masuk Islam lalu menikah dengan pria Muslim. Awal mula dia mengenal Islam adalah dari seorang pria keturunan Pakistan, Muhammad Bhutta namanya. Pria yang mengenalkan Islam padanya dan dikemudian hari menjadi suaminya. Tapi jangan dikira ia masuk Islam gara-gara jatuh cinta dengan Muhammad.
“Waktu itu saya masih kecil. Baru berumur 10 tahun. Kebetulan keluarga kami punya toko dan Muhammad adalah salah satu pelanggan tetapnya. Saya sering mengintip Muhammad kala shalat di belakang toko kami.”
“Dari wajahnya saya melihat pancaran kedamaian. Tampaknya dia sangat ikhlas dan menikmati shalatnya. Kala saya tanya, dia bilang dia orangIslam. Apa itu Islam?” tanya Aisyah kecil heran.
Berselang beberapa lama, dengan bantuan Muhammad, Aisyah cilik mulai mendalami Islam lebih jauh. Sekitar lima tahunan ia pelajari kitab suci tersebut dan menariknya dia telah mampu membaca seluruh isi Al-Quran dengan bahasa Arab.
”Semua saya baca. Sungguh sangat menarik sekali. Serasa menancap di hati,” kenangnya.
Alhasil, di usianya yang ke-16 Debbie Rogers pun mengucap dua kalimah syahadat.
”Ketika saya mengucapkan kalimah itu, serasa seperti baru melepaskan beban berat yang lepas dari pundak saya. Luar biasa. Saya merasa seperti seorang bayi yang baru dilahirkan,” ujarnya. Ia lantas mengganti namanya, Debbie Rogers menjadi Aisyah.
-DeckIslam-

NU, NKRI dan Khilafah


KH Mutawakkil ‘Alallah — kebetulan nama beliau sama dengan salah satu gelar seorang Khalifah Bani Abasiyah — Ketua PW NU Jatim menegaskan, bahwa siapapun dan apapun ormasnya yang mengganggu asas Pancasila dan keutuhan NKRI, maka akan berhadapan dengan NU.
Pernyataan keras ini disampaikan sebagaimana dinukil eramuslim dari situs on-line NU oleh Kyai tersebut pada acara Harlah NU di Jombang. Ia juga dengan tegas meminta Negara bertindak tegas kepada pengusung ide Khilafah. Peryataan ini tentu mengandung ironi di tengah gagasan penegakan Khilafah yang semakin kuat mendapatkan sambutan hangat dari seluruh komponen ummat – tentu termasuk ummat Nahdliyin.
Bahkan SETARA Institute – sebuah LSM Liberal — dibuat kaget oleh hasil surveynya sendiri di akhir tahun 2010 ini, bahwa ternyata gagasan Khilafah yang semula asing itu sudah didukung oleh 34,6 % responden. Pernyataan di atas juga tak perlu direaksi secara emosional oleh para pejuang Khilafah, namun cukup ditanggapi secara arif dan argumentative berkepala dingin. Malah sebaiknya menurut kata hikmah Imam Syafii rahimahullah, FA KHOIRU MIN IJABATIHI AS SUKUUT, jawabnya lebih baik diam.
Sebagai respon atas kegelisahan Struktur Nahdliyin (karena tidak semua Nahdliyin menolak Khilafah), maka berbagai fakta empiris historis dan sejumlah narasi normative dari sumber turats Islam klasik serta kuatnya opini syariah dan khilafah di tengah ummat, dapat kiranya dijadikan bahan masukan para pihak penolak Khilafah. Dengan ini mudah-mudahan mampu memberikan bayan (klarifikasi) atas kesalahfaman mereka kepada gagasan tersebut, yang kesemuanya akan diurai secara ringkas di bawah ini.
Sejarah Jejak Keterkaitan Nusantara dengan Khilafah
Adalah sikap ahistoris menolak ide khilafah mengingat ditemukan sejumlah bukti sejarah yang terhubung sangat erat melalui peran Khilafah dengan sejarah lahirnya umat Islam di negeri ini. Terutama masuknya Islam di tanah Jawa tidak bisa dilepaskan peran Khilafah Utsmaniyah Sultan Muhammad I. Khalifah ini secara bergelombang mengutus dai-dai transnasional ke tanah Jawa untuk menyebarkan agama Islam.
Tersebutlah Maulnana Malik Ibrahim (pakar tata negara Turki), Syaikh Jumadil Kubro-Mesir (dimakamkan di komplek Trowulan), Syaikh Maulana Israil, Syaik Ahmad Subakir, Syaikh Samarkand (Asmarokondi), dsb. Dilanjutkan gelombang kedua yang dikenal dengan Wali Songo, diantaranya Sayyid Ja’far Shodiq Al Quds (Sunan Qudus/Ahli Militer) dan Syarif Hidayatullah.
Tokoh-tokoh diatas tak dipungkiri lagi dalam komunitas Nahdliyin dikenal sebagai Waliyullah yang sangat dihormati. Fakta sejarah lain bisa disimak berikut ini:
  • Pasukan khilafah Turki Utsmani tiba di Aceh (1566-1577) termasuk para ahli senjata api, penembak dan para teknisi. untuk mengamankan wilayah Syamatiirah (Sumatera) dari Portugis. Dengan bantuan ini Aceh menyerang Portugis di Malaka.
  • Pengakuan terhadap kebesaran Khilafah dibuktikan dengan adanya dua pucuk surat yang dikirimkan oleh Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah masa Bani Umayah. Surat pertama dikirim kepada Muawiyah dan surat kedua dikirim kepada Umar bin Abdul Aziz.
  • Sebuah medali emas yang dipersembahkan oleh Khalifah Ustmani di Turki kepada utusan Sultan Thaha Syaifuddin yang datang meminta pertolongan Khalifah untuk melawan penjajahan Belanda di Jambi.
  • Tahun 100 H (718 M) Raja Sriwijaya Jambi yang bernama Srindravarman mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Khilafah Bani Umayah meminta dikirimkan da`i yang bisa menjelaskan Islam kepadanya. Dua tahun kemudian, yakni tahun 720 M, Raja Srindravarman, yang semula Hindu, masuk Islam. Sriwijaya Jambi pun dikenal dengan nama Sribuza Islam.
  • Deureuham adalah mata uang Aceh pertama yang diambil dari bahasa Arab dirham. Beratnya 0,57gram kadar 18 karat diameter 1 cm, berhuruf Arab di kedua sisinya.
  • Gelar Sultan Kesulatanan Islam di nusantara dinyatakan sah apalbila telah ditetapkan oleh Syarif Makkah. Syarif Makkah adalah pejabat Khilafah Utmaniah setingkat wali/ Gubernur yang diberi kewenangan mengankat para Sultan.Pada era kolonialisme gelar Sultan amat sangat ditakuti Belanda. Karenaya tidak mengherankan jika Pangeran Diponegoro menyematkan gelarnya: “ Senopati Ing Alogo Sultan Abdul Hamid Erucokro Amirul Mukminin Tanah Jowo Sayidi Panotogomo”. Sultan Abdul Hamid adah nama Khalifah Utmaniyah dan Erucokro adalah Sultan Mataram saat itu.
  • Dalam peran internasionalnya NU juga tidak bisa dipisahkan dari perjuangan penegakan Khilafah yang menjadi agenda penting umat Islam saat itu. Sebagai respon terhadap keruntuhan khilafah sebuah komite didirikan di Surabaya pada tanggal 4 Oktober 1924 diketuai oleh Wondosoedirdjo (kemudian dikenal sebagai Wondoamiseno) dari Sarekat Islam dan wakil ketua KHA. Wahab Hasbullah(salah satu pendiri NU). Tujuannya untuk membahas undangan kongres khilafah di Kairo.
Pertemuan ini ditindaklanjuti dengan menyelenggarakan Kongres Al-Islam Hindia III di Surabaya pada tanggal 24-27 Desember 1924, Keputusan penting kongres ini adalah melibatkan diri dalam pergerakan khilafah dan mengirimkan utusan yang harus dianggap sebagai wakil umat Islam Indonesia ke kongres dunia Islam. Kongres ini memutuskan untuk mengirim sebuah delegasi ke Kairo yang terdiri dari Suryopranoto (SI), Haji Fakhruddin (Muhammadiyah) dan KHA. Wahab dari kalangan tradisi.
Khilafah: Salah satu Prinsip Aswaja
Definisi Ahlus Sunnah wal Jamaah, menurut Nashir bin Abdul Karim Al-Aql, adalah golongan kaum muslimin yang berpegang dan mengikuti As-Sunnah (sehingga disebut ahlus sunnah) dan bersatu di atas kebenaran (al-haq), bersatu di bawah para imam (khalifah) dan tidak keluar dari jemaah mereka (sehingga disebut wal jamaah). (Nashir bin Abdul Karim Al-Aql, Rumusan Praktis Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, Solo : Pustaka Istiqomah, 1992, hal. 16). Definisi yang seumpamanya disampaikan oleh Syekh Abdul Qadir Jailani di dalam kitabnya Al-Ghaniyah, yang menjelaskan tentang ahlus sunah sebagai perbuatan yang mengikuti segala yang ditetapkan Nabi SAW (maa sannahu rasulullah SAW).
Dan disebut wal jamaah, kerana mengikuti ijma’ sahabat mengenai keabsahan kekhilafahan empat khalifah dari Khulafa` Rasyidin) (maa ittifaqa ‘alaihi ashhabu rasulillah fi khilafah al-a`immah al-arba’ah al khulafa` ar-rasyidin). (Balukia Syakir, Ahlus Sunnah wal Jamaah, Bandung : Sinar Baru, 1992, hal. 31)
Dari pengertian Ahlus Sunah Wal Jamaah di atas, jelas sekali bahwa perjuangan menegakkan Khilafah dengan sendirinya sangat sinonim dengan ajaran Ahlus Sunah Wal Jamaah. Ini kerana, Khilafah berkati rapat dengan istilah wal jamaah. Jadi, jamaah di sini maksudnya adalah kaum muslimin yang hidup di bawah kepimpinan khalifah dalam negara Khilafah. Khilafah merupakan prinsip dasar yang sama sekali tidak terpisah dengan Ahlus Sunah Wal Jamaah.
Kesatuan Ahlus Sunah Wal Jamaah dan Khilafah ini akan lebih dapat dipastikan lagi, jika kita menelaah kitab-kitab yang membahaskan aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dalam kitab-kitab aqidah itu, semuanya menetapkan wajibnya Khilafah. Dalam kitab Al Fiqhul Akbar (Bandung : Pustaka, 1988), karya Imam Abu Hanifah (w. 150 H) dan Imam Syafi’i (w. 204 H), terdapat fasal yang menegaskan kewajiban mengangkat imam (khalifah) (fasal 61-62).
Dalam kitab Al-Farqu Baina Al-Firaq, karya Imam Abdul Qahir Al-Baghdadi (w. 429 H) menerangkan 15 prinsip Ahlus Sunah Wal Jamaah. Prinsip ke-12 adalah kewajiban adanya Khilafah (Imamah). Kata Abdul Qahir al-Baghdadi,”Inna al-imaamah fardhun ‘ala al-ummah.” (sesungguhnya Imamah [Khilafah] fardhu atas umat). (Lihat Imam Abdul Qahir Al-Baghdadi, Al-Farqu Baina Al-Firaq, Beirut : Darul Kutub Al-Ilmiah, 2005, hal. 270). Dalam kitab Al-Masa`il Al-Khamsuun fi Ushul Ad-Din hal. 70, karya Imam Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H) beliau mengatakan, “Mengangkat Imam [khalifah] adalah wajib ke atas umat Islam.” Pernyataan serupa juga ditegaskan oleh Imam Ibnu Hazm (w. 456 H) dalam kitabnya ‘Ilmu Al-Kalam ‘Ala Mazhab Ahlis Sunnah wal Jamaah hal. 94 pada bab Mas`alah fi Al-Imamah.
Hal yang sama juga terdapat dalam kitab Al-Hushuun Al-Hamidiyah Lil Muhafadhati ‘Ala al ‘Aqaidi al Islamiyah, karya Sayyid Husain Efendi, hal.189, beliau mengatakan,”Ketahuilah bahawa wajib atas kaum muslimin secara syara’ untuk mengangkat seorang Khalifah…” (i’lam annahu yajibu ‘ala al-muslimin syar’an nashb Imamin…). Kitab ini termasuk jenis Kitab Tauhid yang wajib diajarkan di Pesantren Salaf. Bab Khilafah sengaja diletakkan di bagian akhir sebagai pamungkas lantaran Khilafah adalah institusi paling penting untuk menjaga Aqidah Islam, penegak hudud, dan pengatur segala urusan politik dalam maupun luar negeri.
Selain dalam kitab-kitab aqidah seperti dicontohkan di atas, dalam kitab-kitab tafsir, hadis, atau fiqih akan ditemukan kesimpulan serupa bahawa Khilafah memang kewajiban syar’i menurut Ahlus Sunah Wal Jamaah. Imam Al-Qurthubi dalam tafsir Al-Qurthubi (1/264) menyatakan,”Tidak ada perbezaan pendapat mengenai wajibnya yang demikian itu (Khilafah) di antara umat dan para imam, kecuali yang diriwayatkan dari Al-Asham, yang memang asham (tuli) dari syariah (laa khilaafa fi wujubi dzaalika baina al-ummah wa laa baina al-aimmah illa maa ruwiya ‘an al-asham haitsu kaana ‘an asy-syariah asham…). Imam Nawawi dalam Syarah Muslim (12/205) berkata,”Ulama sepakat bahawa wajib atas kaum muslimin mengangkat seorang khalifah.” (ajma’uu ‘alaa annahu yajibu ‘ala al-muslimin nashbu khalifah).
Imam Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthoniyah hal. 5 berkata,”Mengadakan akad Imamah bagi orang yang melaksanakannya di tengah umat, adalah wajib menurut ijma’.” (aqdul imamah liman yaquumu bihaa fi al-ummah waajibun bil ijma’). Jelaslah, bahawa Khilafah adalah memang ajaran asli dan murni Ahlus Sunah Wal Jamaah dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Khilafah adalah wajib menurut Ahlus Sunah Wal Jamaah.
Dengan demikian adalah sungguh aneh bin ajaib jika ada individu atau kelompok yang mengaku penganut Ahlus Sunah Wal Jamaah, tetapi mengingkari atau bahkan menolak Khilafah. Pengingkaran penganut Ahlus Sunah Wal Jamaah terhadap Khilafah adalah batil. Ini jelas-jelas upaya keji dan jahat untuk membinasakan, menghancurkan, dan memalsukan ajaran Ahlus Sunah Wal Jamaah dari prinsip dasarnya.
Maka kepada para pihak penghadang khilafah, sebagian narasi teks di atas harus dibantah lebih dahulu sebelum mengeluarkan statemen menolak ide khilafah. Bentuknya harus berupa hasil kajian Bahtsul Masaail yang dipublkasikan dan diuji dalam forum intelektual yang kredibel. Tetapi ini akan sulit dilakukan, sebab ide khilafah apalagi tathbiq as-syariah itu termaktub dalam lembar demi lembar Kitab-kitab kuning yang terlanjur menjadi maraji’, maqayis (standarisasi) dan qanaat (keyakinan) komunitas Ulama dan santri.
Jadi secara ‘fitrah’ dan fikrah, dunia pesantren akan lebih mudah mengadopsi ide Khilafah daripada menolaknya. Menolak ide ini berarti harus ‘membakar’ dan men-Delet kemapanan aqwal, fatwa dan ijtihad para Ulama Salaf. Tentu bila mengambil langkah ini, kita akan ‘kualat’ dan pasti dikutuk oleh Allah SWT, sebagaimana firman-Nya …“KAMATSALI AL HIMARI YAHMILU ASFAARA”.
Dinamika Opini Syariah dan Khilafah
Majalah Gatra edisi 25; Mei 2006 dengan cover menyolok NEGERI SYARIAH TINGGAL SELANGKAH”, memuat Laporan Utama berbunyi “Gelora Syariah Mengepung Kota” menyimpulkan bahwa saat ini Indonesia memang telah masuk dalam kategori “Negeri Syariah & Insya Alloh ‘Negara syariah’ hanya tinggal selangkah lagi. BBC News, 25/04/2007 menulis “In solving all the problems of the curret wordl today, muslim in muslim countries agree to reestablish/restore Islamic State.
Sementara PPIM UNIS Syahid, melaporkan bahwa di tahun 2002 67 % responden setuju pemerintahan berdasarkan Syariat islam adalah yang terbaik buat Indonesia. Pada tahun 2003 angkanya meningkat menjadi 75 %.
Ketum GMPI M. Danial Nafis pada penutupan Konggres I GMPI di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, 03/032008 mengungkap hasilsurvey yang dilakukan gerakan nasionalis pada tahun 2006, sebanyak 80 % mahasiswa dari kampus ternama meliputi UI,ITB, UGM, Unair dan Unibraw, memilih Syariah sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara.
Wajarlah kemudian jika engamat sekaligus pakar ekonomi & politik internasional Northwestern University Prof. Jeffrey A. Winter ketika berbicara di UK Atmajaya Jakarta 22/4/2009 menyatakan bahwa saat ini telah sangat jelas terlihat adanya fenomena gerakan yang mampu masuk ke grassroot dalam upaya menjawab berbagai masalah dan merubah politik di Indonesia kea rah lebih bernuansa islami hingga menjadi Negara Islam dalam tempo 5 – 25 tahun mendatang.
Bahkan AM Hendropriyono mantan Kepala BIN dengan terbuka menyatakan: “semestinya setelah thesis Liberal-Kapitalisme gagal mensejahterkan dunia, Kekhalifahan seharusnya muncul sebagai penggantinya. Karenanya, Islam perlu menjawab tantangan globalisasi dengan membangun Kekhalifahan Universal. Hanya system ini yang bisa mengatur dan mensejahterkan dunia, karena tatanan Sekuler-Kapitalisme telah gagal”. (Sabili No. 19/Th XVI, 9/4/2009).
Dinamika di atas mestinya membuat kita semakin antusias untuk menyambut abad The New Wordl Order di bawah naungan Khilafah. Arus Khilafah tak terbendung lagi, maka siapapun yang tidak mau mengambil bagian dalam arus ini akan terbuang dan terkubur dalam sampah sejarah.
Oleh karena itu begitu semangatnya para Ulama Akherat menyambut abad khilafah terucaplah suara hati dari lisan yang bersih dan mulia seorang Abah Hideung, Pimpinan Ponpes an-Nidzamiyah Cicurug Sukabumi Jabar pada Liqa’ Besar Alim Ulama Penegak Syariah dan Khilafah di Surabaya. Beliau dengan nada bergetar menyatakan, “Maka tampaklah kepada dunia konsep kehidupan yang telah dicontohkan oleh Rasul serta para Khalifah sesudahnya. Kini dunia tengah menunggu system baru. Percayalah, sebentar lagi –menurut ukuran sejarah, malam akan berganti siang. Sekali biji tertanam, akar akan terhujam, batang akan merindang, pohon Khilafah dan Syariah akan panen di setiap ruang dan waktu di ujung akhir nafas sejarah, dengan sezin Allah SWT”.
NKRI Yang Tersandera dan Terjajah
Adalah fakta dan problema internal NKRI hari ini telah direspon secara tegas dalam KUII ke V 7 .s.d 10 Mei 2010 di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, yang dihadiri oleh sekitar 800 utusan MUI seluruh Indonesia, berbagai Lembaga & Badan serta ORmas Islam telah melahirkan Deklarasi Jakarta 2010 yang menyatakan: “Pentingnya kepemimipinan umat sebagai perwujudan perjuangan menerapkan amar makruf nahi munkar dalam rangka menegakkan Syariah islam pada seluruh asepk kehidupan bangsa dan Negara. Seiring itu pranata system hokum warisankolinial Belanda dan yang bertentangan dengan Syariah Islam harus diperbaharui, dmeikian juga produk hokum yang mengandung Sekularisme, Liberalisme dan Kapitalisme harus ditangkal”. (www.mui.or.id)
Statemen di atas menggambarkan dengan tegas NKRI tersandera dan terjajah oleh sekularisme, libelarilme dan kapitalisme. Jika pada Era Orde Lama Negeri ini jadi objek eksperimen Demokrasi Liberal (RIS), Demokrasi Terpimpin dan Sukarnoisme (Nasakom) dengan poros Soviet-Peking. Maka era Orde Baru arus Sosialime-Komunisme diputarbalik ke arah kapitalisme Sekuler dengan poros AS.
Namun di era reformasi AS terpaksa mengikuti kehendak public untuk melengserkan rezim diktaktor ala Suharto. AS pun dengan cepat mendukung public guna reformasi wajah alias operasi plastik dengan mengganti rezim baru yang lebih demokratis. Yakni sebuah rezim yang lebih pro AS, mengadopsi neo-liberalisme dalam ekonomi, Demokrasi Sipil dalam politik, permisiv dalam budaya barat (pornografi-aksi), pluralism agama dan keyakinan, dan layanan public yang semakin kapitlistik.
Arena politIk yang mestinya sarat perjuangan untuk membela hak-hak rakyat kini berubah jadi ajang bisnis. Para politisi agar bisa duduk di singasana kekuasaan membutuhkan modal milyaran bahkan trilyunan untuk kursi yang lebih tenggi. Agar balik modal para politisi itu berlomba jadi makelar proyek disamping makelar undang-undang.
Konon tarif per undang-undang saat ini bisa mencapai 11 milyar. Penyebabnya kelompok kepentingan baik dalam negeri maupun asing untuk menjalankan agenda busuknya sangat membutuhkan payung hukum. Tidak ada cara lain kecuali mereka harus menyuap para legislator. Para legislator akhirnya bermandikan uang, sementara rakyat harus mengerang menahan lapar bernasib malang.
Era reformasi membawa negeri ini berlayar tanpa visi dan jatidiri. Harga dirinya tergadaikan. Kemandirian, kemerdekaan dan kepercayaan diri musnah. Benarlah curhat Prof. Habibie pada peringatan lahirnya Pancasila, bahwa negeri ini dikendalikan oleh Neo-VOC. Beliau juga bersedih melihat 48.000 insinyur dengan well-educated lari mencari pekerjaan di luar negeri. Sebab industry dirgantara harus bubar demi mengikuti LOI IMF.
Belum lagi SDA berupa minyak, gas, mas dan mineral lain nyaris semua jatuh ke Multinasional Corparation. Ini semua konsekuensi kebijakan liberalisasi sector migas, dan UU Minerba. Regulasi ini lahir dari konspirasi jahat para kapitalis dan kompradornya melalui parlemen hasil pesta demokrasi.
Liberalisasi di sektor budaya melahirkan life style baru westomania. Remaja dugem, pesta narkoba hingga perilaku sex bebas mengancam generasi negeri ini. Ditemukan data dan fakta mengerikan bahwa lebih dari 50 % remaja putrid di kota-kota besar mengakui sudah tidak virgin lagi.
Angka kriminalitas pasca reformasi mengalami peningkatan luar biasa. Kejahatan di ibukota hitunganya tidak lagi menit namun sudah per detik. Inilah pengaruh langsung ideology Kapitalisme Sekuler. Jenis Ideologi transasional seperti inilah biang keladi masalah dan ancaman riel negeri ini. Jadi mana yang lebih berbahaya bagi NKRI, Kapitalisme-Sekuler atau Khilafah-Syariah? Wallahu A’lam.
 
Al-Faqir A. Baedlowi An-Nawy (Alumni Ponpes Salafiyah Al Huda Oro-oro Ombo Madiun)
Alamat: Wonorejo, Kedungalar, Ngawi